Tradisi Adat Selapanan
Analisis Nilai Karakter Tradisi Selapanan Dalam Perspektif Kearifan Lokal Di Desa Kedungwinong Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo
Pendahuluan
Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal (local wisdom) biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut. Kearifan lokal ada di dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu, dan permainan rakyat. Kearifan lokal sebagai suatu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal melalui kumpulan pengalaman dan pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam di daerah setempat.
Masyarakat Indonesia mempunyai kebudayaan yang beragam dan sangat banyak. Khususnya di Pulau Jawa. Masyarakat Jawa adalah salah satu masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Tradisi-tradisi yang dilaksanakan selalu berkaitan dengan daur hidup manusia. Upacara-upacara daur hidup berkisar pada tiga tahapan penting dalam kehidupan manusia, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian (Sedyawati, 2012:429). Setiap tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa tentu memiliki tujuan yang hendak dicapai. Mulai dari upacara kelahiran, perkawinan hingga kematian.
Orang Jawa selalu memperhatikan dan memperhitungkan hari peringatan tersebut. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih mempercayai bahwa terdapat arti tertentu dalam hari tersebut, karena hari sangat menentukan kelancaran sebuah peristiwa yang akan dijalani. Kepercayaan mengenai arti-arti hari juga dimiliki oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa memiliki kalender sendiri yang berbeda dengan kalender Masehi. Hitungan hari dalam penanggalan Jawa yaitu lima hari atau biasa disebut sebagai hari pasaran yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon (Utomo, 2005:19).
Perhitungan hari dilakukan dengan memadukan hari pasaran dengan hari biasa (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, Minggu). Dari perhitungan hari biasa dan hari pasaran, akan ditemukan hari nepton (selapanan) yang berjumlah 35 hari. Pengetahuan mengenai perhitungan hari atau petungan dina ini penting, karena sebagian besar penduduk Jawa beranggapan bahwa segala sesuatu nasib manusia bergantung pada petungan ini (Purwadi, 2005:73).
Dalam kepercayaan Jawa, peringatan selapanan tidak hanya dilakukan sekali, namun sebagian masyarakat Jawa ada yang masih memperingati hari nepton-nya sampai dewasa. Selain karena dianggap sacral, peringatan nepton atau selapanan diadakan jika terjadi krisis kehidupan yaitu jika keseimbangan dan keselarasan kehidupan menjadi terganggu.
Peringatan nepton atau selapanan untuk yang pertama kalinya merupakan peringatan yang istimewa, karena bagi masyarakat Jawa peringatan ini disamakan dengan peringatan hari ulang tahun si buah hati untuk yang pertama kalinya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan pendahuluan diatas terdapat beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu :
Nilai-nilai karakter apa yang ada pada tradisi Selapanan?
Bagaimanakah tradisi Selapanan dapat digunakan sebagai sarana untuk melestarikan kearifan local di Desa Kedungwinong?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan diadakannya penelitian ini yaitu :
Untuk mendeskripsikan muatan nilai karakter pada tradisi Selapanan
Untuk mendeskripsikan tradisi Selapanan sebagai sarana untuk melestarikan kearifan local di Desa Kedungwinong
Kajian Teori
Manusia adalah pribadi yang berakal sehat yang dapat berfikir dan sadar yang akan dilakukan. Hal ini yang membedakan manusia dari mahkluk ciptaan Allah SWT yang lainnya. Dalam penelitian yang dilakukan Suyahman dapat dikatakan bahwa sebagai pribadi manusia itu bersifat rokhani dan jasmani. Dengan sifat rokhaninya, manusia dapat mengadakan hubungan secara vertical yakni mengadakan hubungan dengan Allah SWT dan mengarahkan hidupnya ke hal yang luhur dengan caranya sendiri sedangkan sebagai makhluk jasmani manusia dibatasi geraknya dengan keadaan fisiknya masing-masing.
Manusia sebagai makhluk jasmani secara kodrati mempunyai dua kedudukan sebagai mahkluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial yang berbudaya. Sebagai mahkluk sosial manusia hanya dapat hidup secara utuh dan berarti bila mengadakan interaksi, bekerja sama, dan saling menghargai serta mempercayai dengan sesamanya dalam rangka memenuhi tujuan hidupnya.
Perkembangan global telah memberi peluang dan ancaman bagi bangsa Indonesia. Dengan perkembangan global, bangsa ini telah menunjukkan kemampuannya mengambil peluang dalam promosi perdagangan produk dan promosi pariwisata di semua kawasan negara-negara di dunia. Di sisi lain dengan perkembangan global bangsa ini telah terkena virus yang multi komplek yang melanda di kalangan dunia remaja, misalnya pergaulan bebas, individualisme, egoisme, menurunnya sikap kurang pedulian terhadap orang lain.
Mutu pembelajaran dapat dikatakan sebagai gambaran mengenai baik buruknya hasil yang dicapai oleh peserta didik dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan. Sekolah dianggap bermutu bila hasil mengubah sikap, perilaku dan keterampilan peserta didik dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Mutu pendidikan sebagai system selanjutnya tergantung pada mutu komponen yang membentuk system serta proses pembelajaran yang berlangsung hingga membuahkan hasil. Mutu pembelajaran merupakan hal pokok yang harus dibenahi dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
Masyarakat Indonesia memang kaya akan budaya dan tradisi. Tradisi atau kebiasaan yaitu sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi yaitu adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan.
Bagi masyarakat Indonesia sendiri, banyak sekali upacara tradisi yang bertujuan untuk menjaga kedamaian, kerukunan, keselamtan, dan bentuk syukur atas peristiwa tertentu. Contohnya pada pelantikan Presiden Indonesia Joko Widodo dan Jusuf Kalla, 20 Oktober 2014. Sejumlah tokoh agama dan jajaran pejabat Pemkot Solo berdoa bersama saat Acara Kenduri dan Doa untuk Jokowi di Bundaran Gladak, Solo, Jawa Tengah. Sebanyak tujuh tumpeng dari Pemkot Solo yang melambangkan Jokowi sebagai presiden RI ke-7, dibagikan sebagai wujud syukur atas pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla oleh MPR di Parlementer, Jakarta. Malam harinya dilanjutkan dengan doa bersama. KGPH Puger membuka acara tersebut dengan bahasa Jawa Krama halus. Dalam sambutannya Puger mengatakan bahwa acara malam itu untuk meminta Sang Maha Kuasa agar para leluhur Kraton Surakarta senantiasa memberkati Jokowi dalam menjalankan amanah menjadi pemimpin bangsa.
Masyarakat Indonesia khususnya Masyarakat Jawa masih mempunyai banyak tradisi Jawa lainnya. Selain upacara selametan yang digunakan untuk memberkati seseorang agar bisa menjalankan amanat yang sudah diberikan kepada seseorang ada juga upacara selapanan. Upacara selapanan merupakan bentuk rasa syukur atas berkat dan keselamatan yang diberikan oleh Allah SWT kepada sang bayi dan ibunya. Pada acara ini sang bayi akan dicukur rambutnya dan juga dipotong kukunya. Berdasarkan aturan yang terdapat dalam primbon Jawa ada beberapa hal yang perlu dipatuhi dalam pelaksanaan selapanan. Salah satunya adalah keyakinan bahwa rambut dan kuku bayi yang telah dipotong harus disimpan bersama dengan tali pusar serta kotoran kelelawar yang nantinya bisa dimanfaatkan oleh tujuan tertentu. Selain itu juga dapat membentuk suatu karakter.
Karakter adalah jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik didalam masyarakat. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Sedangkan Scerenko dalam Muchlas Samani dan Hariyanto (2012;42) menyatakan bahwa karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis dan kompleksitas mental dari seseorang suatu kelompok atau bangsa.
Acara upacara Selapanan ini terdapat beberapa syarat-syarat atau yang biasa disebut dengan uba rampe yang harus dipenuhi ketika melaksanakan upacara Selapanan yaitu harus tersedia beberapa jenis makanan yaitu :
Tumpeng Weton yang terdiri dari :
7 jenis sayuran yaitu kacang panjang, kangkung, dan 5 jenis sayuran bebas. Semua sayuran ini akan direbus dan dipotong-potong, kecuali kacang panjang dan kangkung. Jenis sayur yang dipilih memiliki makna simbol tersendiri. Sebagai contoh kacang panjang sebagai simbol harapan agar sang bayi panjang umur dan sayur bayam agar hidup sang bayi akan tentram. Telur ayam yang telah direbus dan dikupas kulitnya berjumlah 7,11 atau 17 buah. Bumbu urap atau gudangan yang dibuat tidak pedas, untuk membedakan antara acara bancaan weton untuk anak bayi dan dewasa.
7 jenis buah-buahan dimana salah satu diantaranya adalah pisang raja
Cabai dan bawang merah yang nantinya akan dipasang di puncak tumpeng weton
7 jenis bubur dimana 6 diantaranya merupakan bubur kombinasi berupa bubur gurih (putih) dan bubur manis (merah) serta satu bubur baro-baro yang merupakan bubur gurih yang ditaburi kelapa parut dan potongan gula kelapa.
Saringan santan yang terbuat dari bambu
Kembang setaman yang terdiri dari mawar merah dan putih, melati, kanthil, dan bunga kenanga
Berdasarkan tradisi, tumpeng weton beserta semua perlengkapan harus diletakkan di dalam kamar, diatas tempat tidur sang bayi. Kemudian dibacakan doa. Setelah pembacaan doa selesai barulah hidangan tadi bisa dinikmati dan dimakan oleh semua orang. Jumlah dan jenis makanan yang disajikan dalam bancakan pada upacara Selapanan merupakan angka ganjil, karena angka ganjil dipercaya sebagai angka keberuntungan. Kepercayaan angka ganjil ini juga muncul pada jumlah yang akan mengkonsumsi bancakan tersebut.
Masyarakat Jawa mempercayai bahwa bancakan ini sebaiknya dikonsumsi minimal 7 orang, 11, 17 atau lebih banyak lagi. Angka 7 (pitu) merupakan harapan agar mendapatkan pertolongan (pitulungan) dari Allah SWT, sementara angka 11 (sewelas) merupakan harapan agar mendapatkan belas kasih (kawelasan) dari Allah SWT. Semua hal tersebut merupakan salah satu nilai budaya Jawa yang masih sangat kental dan penuh dengan makna filosofis yang sebaiknya tetap dilestarikan.
Keberagaman budaya dan tradisi lokal di Indonesia merupakan ekspresi simbolik sekaligus alkulturasi agama, etnik, dan budaya local. Aspek agama memberikan warna yang cukup besar dalam pembentukan tradisi local seperti dalam pandangan Clifford Geertz yang melihat agama sebagai suatu system kebudayaan (Parsudi Suparlan, 1983).
Dari berbagai keberagaman tersebut maka disetiap daerah terdapat kearifan lokal yang berbeda-beda. Dalam pengertian kamus, kearifan local (local wisdom) terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam kamus bahasa inggris Indonesia john.m echols dan Hassan syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) yaitu gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini, 2003)
Menurut Wagiran (2012), kearifan lokal menyiratkan beberapa konsep yaitu (1) kearifan local adalah sebuah pengalaman panjang yang diendapkan sebagai petunjuk perilaku seseorang (2) kearifan local tidak lepas dari lingkungan pemiliknya dan (3) kearifan local bersifat dinamis, lentur, terbuka, dan senantiasa menyesuaikan dengan zamannya. Dalam perkembangannya kearifan lokal digunakan sebagai konsep proses perkembangan sosial manusia sesuai konteks sosio kultural. Sehingga kearifan lokal selalu ada di dalam setiap realitas masyarakat, melekat dalam sistem tatanan nilai norma tradisi lokal (Sutarto, dkk. 2013).
Kearifan lokal memiliki ciri-ciri sebagai berikut (1) dapat bertahan terhadap budaya asing (2) mempunyai keahlian mengakomodasi unsur budaya asing terhadap budaya asli (3) mempunyai keahlian mengintegrasikan unsur budaya asing ke dalam budaya asli (4) mempunyai keahlian untuk mengendalikan (5) dapat memberi arah pada perkembangan budaya. Adapun tujuan dari kearifan lokal yaitu sebagai pelindung kebudayaan lokal dari kebudayaan asing sehingga dapat lestari. Di dalam bidang pariwisata, kearifan lokal bisa bermanfaat untuk melindungi kawasan dari kerusakan. Pandangan masyarakat tentang bagaimana merawat alam bisa menjadi strategi untuk memberi kesadaran terhadap pemerintah.
Kearifan lokal juga mempunyai beberapa macam fungsi diantaranya (1) untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam (2) untuk pengembangan sumber daya manusia seperti yang berkaitan dengan upacara daur hidup dan konsep kanda pat rate (3) untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, contohnya pada upacara saraswati dan kepercayaan serta pemujaan pada pura Panji (4) sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan (5) bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal atau kerabat (6) bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian (7) bermakna tentang etika dan moral yang terwujud dalam upacara Ngaben serta penyucian roh leluhur.
Kearifan lokal juga terdapat di daerah lain diantaranya (1) Hutan Larangan Adat di Desa Rumbio Kecamatan Kampar Provinsi Riau menjelaskan bahwa kearifan lokal dibuat dengan tujuan agar masyarakat sekitar bersama-sama melestarikan hutan. Ada peraturan untuk tidak menebang pohon-pohon di hutan dan akan dikenakan denda seperti beras 100kg atayu berupa uang sebesar Rp 6.000.000,- jika melanggar (2) Awig-awig di Lombok Barat dan Bali yang merupakan aturan adat yang menjadi pedoman untuk bersikap dan bertindak khusus dalam hal berinteraksi dan mengolah sumber daya alam dan lingkungan di daerah Lombok Barat dan Bali (3) Cingcowong yang berasal dari Sunda Jawa Barat yang merupakan upacara untuk meminta hujan. Tradisi ini sudah dilakukan turun temurun oleh masyarakat Luragung guna untuk melestarikan budaya dan menunjukkan suatu permintaan kepada yang Maha Kuasa jika tanpa adanya patuh terhadap perintahNya (4) Bebie dari Muara Enim, Sumatera Selatan merupakan tradisi memanen pada secara bersama-sama dengan tujuan agar pemanenan padi cepat selesai dan setelah panen selesai akan diadakan perayaan sebagai bentuk rasa syukur atas panen yang sukses.
Dari beberapa contoh mengenai kearifan lokal di beberapa desa yang ada di Indonesia dapat disimpulkan bahwa banyak sekali kebudayaan lokal yang ada di negara Indonesia. Tidak hanya tradisi Selapanan yang ada di Pulau Jawa saja. Tetapi di daerah lain atau bahkan di pulau lainnya juga terdapat tradisi di daerah setempat. Oleh karena itu, kita sebagai bangsa Indonesia harus bangga terhadap negeri kita sendiri dan mau untuk melestarikan budaya turun temurun tersebut. Karena kebudayaan merupakan aset warisan budaya yang harus senantiasa dijaga dan dilestarikan.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode yang memberikan gambaran secermat mungkin mengenai individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu (Sayuti, 1989:41). Untuk meneliti tentang kebudayaan lebih tepat menggunakan pendekatan atau metode kualitatif. Sukmadinata (2009:53-60) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas social, sikap, kepercayaan, persepsi, dan orang secara individual maupun kelompok.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik interview terhadap tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat setempat. Teknik interview yaitu memberikan beberapa pertanyaan mengenai nilai-nilai karakter apa saja yang terkandung di dalam tradisi Selapanan dan bagaimana tradisi Selapanan menjadi sarana untuk melestarikan kearifan lokal di Desa Kedungwinong.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai karakter dan bagaimana tradisi Selapanan dapat digunakan sebagai sarana untuk melestarikan kearifan lokal di Desa Kedungwinong. Oleh karena itu digunakan metode deskriptif dalam penelitian ini. Karena metode deskriptif dapat mengetahui bagaimana masyarakat di Desa Kedungwinong memaknai tradisi Selapanan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Kearifan lokal di suatu daerah sangatlah penting karena kearifan lokal dapat mengikat dan mempererat tali silaturahmi di daerah setempat. Kearifan lokal adalah suatu bentuk pengetahuan asli dalam masyarakat yang berasal dari nilai luhur budaya masyarakat setempat untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat atau dikatakan bahwa kearifan lokal (Sibarani 2012). Sama halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh (Apriyanto 2008) yang mengatakan bahwa kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan oleh masyarakat yang menjadi pedoman hidup mereka. Dari penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal di suatu daerah sangatlah penting karena dapat menjadikan pedoman bagi masyarakat setempat untuk selalu berbuat baik dan tidak melupakan tradisi adat istiadat yang sudah turun temurun.
Dari penelitian yang sudah dilakukan di Desa Kedungwinong mengenai tradisi Selapanan dapat dikatakan bahwa tradisi Selapanan di Desa Kedungwinong masih selalu diperingati dan dilaksanakan. Karena menurut hasil wawancara yang sudah dilakukan dapat dikatakan bahwa tradisi Selapanan di Desa Kedungwinong adalah bentuk ucapan rasa syukur kepada sang pencipta Allah SWT atas kelahiran sang buah hati. Di dalam tradisi selapanan terdapat beberapa nilai karakter diantaranya (1) nilai keagamaan (2) nilai pendidikan religius (3) nilai norma (4) nilai ekonomi dan (5) nilai sosial
Demikian juga dengan hasil wawancara yang sudah dilakukan terhadap tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama bahwa terdapat beberapa informasi mengenai nilai karakter apa saja yang terkandung di dalam tradisi Selapanan dan bagaimana cara melestarikan tradisi Selapanan tersebut agar tidak punah dikemudian hari.
Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan di lapangan dan mewawancarai sebagian tokoh-tokoh penting di Desa Kedungwinong dapat dikatakan bahwa tradisi Selapanan di Desa Kedungwinong masih sangat diperlukan mengingat arti penting dari Selapanan itu sendiri yang mengatakan bahwa Selapanan adalah bentuk rasa syukur kepada Allah SWT mengenai kelahiran sang buah hati. Oleh karena itu, tradisi Selapanan di Desa Kedungwinong masih terus menerus dilestarikan dan dibudidayakan oleh masyarakat setempat.
Pembahasan
Tradisi merupakan khasanah yang terus hidup dalam masyarakat secara turun temurun yang keberadaanya akan selalu dijaga dari satu generasi ke generasi berikutnya (Yahya, 2009:2). Tradisi juga merupakan kebiasaan yang turun temurun dalam sebuah masyarakat. Ia merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat (Rendra, 1984:3). Dengan demikian maka tradisi dapat diartikan sebagai sebuah ada kebiasaan yang dijalankan masyarakat dan diwariskan kepada generasi penerusnya secara turun temurun. Tradisi juga dapat dikatakan sebagai serangkaian tindakan yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai atau norma-norma melalui pengulangan yang otomatis mengacu pada masa lalu (Yahya, 2009:2).
Tradisi selapanan merupakan salah satu rangkaian selametan nepton. Tradisi selametan dilaksanakan berkaitan dengan kelahiran seorang bayi ada beberapa hal :
Selametan tingkeban, yaitu selametan sang ibu sewaktu mengandung dan usia kandungannya genap 7 bulan
Selametan kelahiran bayi
Selametan usia bayi tujuh hari, dalam selametan ini orang tua mengumumkan nama sang bayi
Selametan selapanan nepton lahir sang bayi yang berusia 35 hari
Selametan mitoni, sewaktu usia anak mencapai 7 bulan (Yana M.H, 2012:48)
Jadi selapanan diadakan sebagai salah satu peringatan nepton atau hari lahir seorang bayi. Namun dalam peringatannya tentu tidak dilaksanakan secara sembarangan, karena peringatan selapanan dihitung berdasarkan perhitungan hari nepton atau weton. Upacara terakhir dalam rangkaian selametan kelahiran yang dilakukan hari ke-36 sesuai dengan nepton atau hari pasaran kelahiran bayi.
Selapanan artinya 35 hari atau tujuh kali lima hari, karena hitungan hari dalam penanggalan Jawa adalah lima hari yaitu Legi, pahing, pon, wage, kliwon. Sesudah berumur 35 hari, oleh kakek si bayi akan memotong rambut bayi untuk pertama kalinya dan diadakan selametan yang disebut selametan selapanan (Utomo, 2005:19).
Selapanan merupakan peringatan nepton si bayi dan menurut kepercayaan, hari nepton akan menjadi dasar dalam peringatan peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan kehidupannya kelak. Seperti yang diketahui bahwa Masyarakat Jawa memiliki perhitungan hari tersendiri dalam memperingati sebuah peristiwa dan tradisi Selapanan merupakan selametan nepton pertama sang bayi dan merupakan peringatan kelahiran bayi yang terkahir dari beberapa peringatan kelahiran bayi.
Dalam peringatan Selapanan, tentu terdapat tata cara serta kelengkapan untuk menunjang jalannya upacara. Sajen yang perlu disiapkan adalah nasi tumpeng dengan lauk pauknya misalnya urapan, daging ayam, daging sapi atau kerbau, telur rebus, dan jajanan pasar. Selain itu disediakan kembang telon atau kembang endog dan kemenyan (Utomo, 2005:19).Beberapa hari sebelum pelaksanaan tradisi, tuan rumah meminta tolong kepada tetangga yang terdiri dari kaum wanita untuk membantu mempersiapkan dan memasak bahan-bahan yang hendak dijadikan among-among dan kenduri.
Masyarakat jawa adalah masyarakat yang hidup, tumbuh berkembang dan berada dalam naungan NKRI. Masyarakat Jawa merupakan mayoritas dan dalam jumlah yang banyak sekitar 60% penduduk Indonesia. Orang jawa biasanya dibedakan menjadi Jawa Santri dan Jawa Abangan serta dibedakan menjadi dua cultural yaitu kebudayaan pesisir dan kebudayaan pendalam atau kejawen.
Masyarakat Jawa pada zaman dahulu menyelipkan doa-doa atau pngharapan akan hal baik yang tersimpan dalam setiap rangkain upacara dan perlengkapan tradisi. Masyarakat Jawa tidak hanya sekedar membuat among-among saja. Among-among berasal dari kata emong atau asuh. Bahan-bahan dalam pembuatan among-among tidak boleh sembarangan, karena terdapat ketentuan-ketentuan khusus didalamnya.
Dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat di Desa Kedungwinong, diketahui bahwa uba rampe (kelengkapan upacara) di dalam upacara selapanan terdiri dari makanan pokok, sayur-mayur, buah-buahan, jajanan pasar, kembang setaman, uang, dan lain-lain. Makanan pokok yang dimaksud berupa nasi yang dibuat tumpeng. Nasinya biasanya menggunakan nasi kuning. Kemudian sayur-mayur antara lain bayem, kacang panjang, cambah, kluwih, dan kangkung. Selain itu ada juga telur ayam, ayam yang diingkung, jajanan pasar, kembang setaman dan uang (Hasil wawancara dengan Bapak Broto Suyatno dan Ibu Suyatni pada tanggal 2 Mei 2019).
Dari hasil wawancara dengan tokoh adat diketahui uba rampe upacara selapanan antara lain :
Nasi putih yang dibuat tumpeng
Nasi putih yang berbentuk tumpeng/bentuk kerucut adalah symbol gunung yang menunjukkan bahwa tumpeng adalah interpretasi terhadap doa manusia yang menuju ke atas (Allah SWT), Tumuju marang pangeran (tertuju kepada Allah SWT); Dedonga anteng, meneng, mententheng (berdoa dengan tenang, diam, dan teguh).
Tebu
Tebu mempunyai makna Anteping kalbu (mantapnya hati). Maksudnya adalah mantapnya hati menuju kepada Allah SWT.
Ingkung (ayam yang dimasak utuh)
Ingkung mempunyai makna Ingsun tansah manekung (Aku selalu menyembah dan memohon kepada Allah SWT).
Gudangan atau kuluban
Gudangan terdiri dari beraneka macam sayuran yang direbus yang memiliki makna Gudange duwit (Gudangnya uang); Sakparan-paran ora kepaten dalan (Dimananpun tidak tersesat jalan). Sayuran yang dipakai untuk gudangan yaitu :
Bayem
Bayem (bayam) mempunyai makna ketentraman yang identik dengan kehidupan yang dicari manusia Jawa. Urip ayem tentrem (Hidup tentram dan damai)
Kacang dawa (yusma dawa)
Kacang dawa (kacang panjang) mempunyai makna permohonan umur panjang. Kacang ini disajikan dengan tidak dipotong-potong tetapi dibiarkan memanjang, karena kacang panjang adalah symbol dari umur panjang manusia serta rejeki yang tidak terpotong-potong
Cambah (tansah semrambah)
Cambah (taoge) mmepunyai makna selalu menyebar kebaikan dimanapun ia berada
Kluwih
Kluwih mempunyai makna harapan untuk dapat hidup selalu berkecukupan
Kangkung
Kangkung mempunyai makna harapan dan doa untuk selalu mendapatkan perlindungan dari Allah SWT. Selain itu kangkung mempunyai makna manusia Jawa percaya bahwa hidup tidak perlu tergesa-gesa.
Telur rebus
Telur rebus untuk bancaan atau upacara Selapanan menggunakan jumlah angka tertentu, yaitu 7,11 atau 17 butir telur.
Bumbu urap atau Sambel Gudangan
Sayur-sayuran yang disajikan dalam upacara selapanan hanya direbus dan diberi bumbu urap/sambel gudangan. Ada 2 versi dalam segi rasa di dalam penyajiannya. Salah satu versi menyebutkan bahwa sambal jangan sampai pedas karena mempunyai makna bahwa dalam mengarungi kehidupan, diharapkan tidak banyak mengalami hal-hal yang pedas (Kesedihan, Kemalangan dan petaka lainnya)
Jajanan pasar
Jajanan pasar terdiri dari makanan tradisional di pasar yaitu :
Wajik (wani tumindak becik) yang berarti berani berbuat baik
Gedhang ijo (pisang berwarna hijau), mempunyai makna Gaweo seneng anak lan bojo (berbuatlah yang membuat istri senang)
Sukun, mempunyai makna supaya rukun
Nanas (wong urip aja nggragas) yang berarti orang hidup jangan serakah
Dhondong (ojo kegedhean omong) yang berarti jangan besar omong
Jambu (ojo ngudal barang sing wis mambu) yang berarti jangan melakukan sesuatu yang buruk
Jeruk ( jaba jero kudu mathuk) yang berarti luar dalam/lahir batin harus sesuai jalan
Kembang setaman
Kembang setaman yang dimaksud adalah aneka macam kembang (tidak satu jenis saja) yang biasanya ada di taman. Kembang setaman yang biasa digunakan dalam Selapanan yaitu :
Bunga mawar : awar-awar supaya selalu tawar dari segala nafsu negative
Bunga melati : melat-melat ning ati selalu eling lan waspada
Kantil : supaya tansah kumanthil, hatinya selalu terikat oleh rasa dengan para leluhur yang menurunkannya kepada orang tua dengan harapan anak selalu berbakti kepadanya
Bubur 7 rupa
Bubur merah yang melambangkan lambang ibu
Bubur putih yang melambangkan lambing ayah
Bubur merah silang putih yang melambangkan silang-silang
Bubur putih silang merah yang melambangkan silang-silang
Bubur putih tumpang merah yang melambangkan timbale balik
Bubur merah tumpang putih yang melambangkan timbale balik
Baro-baro (bubur putih ditaruh sisiran (irisan) gula merah dan parutan kelapa secukupnya)
Uang logam
Uang logam atau koin ini diletakkan di bawah tumpeng atau tepatnya di bawah daun pisang yang menjadi sarana untuk meletakkan tumpeng dengan makna konsep uang dalam masyarakat Jawa adalah berada di bawah, jangan sampai mengagungkan uang dan uang bukanlah yang segalanya.
Ada kelengkapan tersendiri dalam penyajian upacara Selapanan :
Daun pisang secukupnya, digunakan sebagai alas tumpeng dan juga alas bahan-bahan lainnya
Kalo (saringan santan) sebagai tempat untuk menyajikan uba rampe selapanan
Cobek digunakan sebagai tempat untuk menyajikan uba rampe selapanan
Acara selapanan yang dilakukan mempunyai urutan-urutan sendiri yaitu :
Pembukaan, biasanya menggunakan bacaan al-Fatihah atau hanya dengan bacaan bismillah saja
Pembacaan kalam ilahi, dalam hal ini biasanya dibacakan sebagian ayat dari surat Luqman. Hal ini merupakan harapan yang bertujuan untuk mendoakan sang bayi agar kelak bayi cerdas layaknya Luqman al-Hakim
Mauidlah al-Hasanah, biasanya shahib al-hajah mengundang kyai, modin, atau penduduk sekitar yang dianggap mampu untuk memberikan sedikit petuah atau ceramah kepada masyarakat yang diundang. Sebelum beliau menutup mauidlahnya dengan doa, terlebih dahulu beliau memimpin secara bersama-sama untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an :
Surat al-Insyirah 7x
Surat al-Qadr 7x
Surat al-Iklhas 3x
Mu’awwidzataian 1x
Surat al-Fatihah 1x
Diba’iyah
Pembacaan solawat-solawat nabi
Makan bersama
Tradisi selapan memiliki beberapa nilai-nilai karakter. Nilai karakter tersebut yaitu :
Nilai keagamaan yaitu dibacakannya ayat-ayat suci al-Qur’an
Nilai pendidikan religius yaitu :
Pencukuran rambut bayi
Sesaji
Nilai norma yaitu terdapat di salah satu sesaji yang bertujuan supaya kelak si bayi menjadi manusia yang baik dan akhlak yang mulia
Nilai ekonomi yaitu kelak si bayi tidak menjadi orang yang serakah
Nilai sosial yaitu kelak si bayi akan mempunyai jiwa saling tolong menolong
Upacara di Desa Kedungwinong Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Kedungwinong karena tradisi upacara Selapanan ini merupakan tradisi turun temurun leluhur/warisan nenek moyang yang dipercaya oleh masyarakat setempat jika dilaksanakan akan mendapatkan berkah dan apabila ditinggalkan akan mendapat bala (musibah). Maka dari itu upacara selapanan ini selalu dilaksanakan oleh masyarakat setempat dari generasi ke generasi. Upacara Selapanan yang sering dilakukan di Desa Kedungwinong ini bertujuan untuk memohon keselamatan bagi si bayi. Agar segala halangan hidup si bayi kelak dapat dihilangkan.
Upacara selapanan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Kedungwinong ini biasanya dilakukan dengan mengundang para tetangga, sanak saudara dan kerabat dekat. Upacara selapanan ini biasanya diikuti dengan aqiqah bagi yang mampu. Aqiqah sendiri merupakan pemotongan kambing dengan aturan 2 ekor bagi anak laki-laki dan 1 ekor bagi anak perempuan.
Upacara Selapanan ini tidak boleh punah bagi masyarakat di Desa Kedungwinong ini karena tradisi ini adalah tradisi nenek moyang yang harus dilestarikan oleh masyarakat setempat. Menurut hasil wawancara di lapangan salah satu cara masyarakat Desa Kedungwinong ini melestarikan upacara selapanan adalah dengan cara masih menyelenggarakan upacara selapanan di Desa Kedungwinong. Selain itu, pelestarian upacara selapanan ini juga dilakukan dengan cara para sesepuh-sesepuh desa yang selalu mengajarkan dan menghimbau para pasangan suami istri muda untuk tetap melakukan upacara selapanan ini. Hal ini dikarenakan pelaksanaan upacara selapanan ini tidak ada jeleknya, selain demi kepentingan si bayi, juga dalam penyelenggaraannya makanan yang dimasak akan dibagi-bagikan kepada warga sekitar. Hal ini dimaksudkan dapat digunakan sebagai sedekah kepada sesama.
Meskipun hampir mayoritas masyarakat di Desa Kedungwinong ini melakukan upacara selapanan, tetapi ditemukan beberapa kendala, diantaranya adalah timbulnya beberapa golongan masyarakat yang tidak mempercayai hal-hal yang sifatnya tradisi leluhur. Misalnya si istri berasal dari keluarga yang memegang teguh adat kejawen sedangkan pihak laki-laki atau suami berasal dari keluarga modern yang tidak mengenal hal-hal berbau kejawen. Upacara selapanan ini sudah ada sejak dulu. Upacara selapanan ini merupakan tradisi turun temurun dari leluhur. Karena upacara ini ditujukan untuk keselamatan si bayi, maka masyarakat juga antusias dalam melaksanakannya. Mereka meyakini bahwa pelaksanaan upacara selapanan ini bukanlah sekedar kenduri, tetapi lebih pada permohonan keselamatan bayi mereka agar selamat dunia akhirat. Mereka percaya bahwa dengan menghilangkan atau tidak melaksanakan upacara selapanan ini, maka nantinya malah akan menimbulkan bencana bagi keluarga mereka, khususnya si bayi tersebut.
Kesimpulan
Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sangat menghargai zaman dahulu dan mensakralkan hari, terutama hari nepton atau hari kelahiran yang merupakan pengingat bahwa manusia hendaknya selalu bersyukur kepada Allah AWT. Masyarakat Jawa memandang bahwa keseimbangan dalam hubungan antara dirinya dengan Allah SWT, alam, dan lingkungan sangatlah penting. Masyarakat Jawa di Desa Kedungwinong adalah masyarakat yang masih melestarikan tradisi yang diberikan dari nenek moyang. Salah satunya adalah tradisi Selapanan. Tradisi Selapanan dimaknai sebagai upaya untuk mencari keselamatan dan wadah sosialisasi. Tradisi Selapanan mempunyai beberapa nilai karakteristik diantaranya :
Nilai keagamaan yaitu dibacakannya ayat-ayat suci al-Qur’an
Nilai pendidikan religius yaitu :
Pencukuran rambut bayi
Sesaji
Nilai norma yaitu terdapat di salah satu sesaji yang bertujuan supaya kelak si bayi menjadi manusia yang baik dan akhlak yang mulia
Nilai ekonomi yaitu kelak si bayi tidak menjadi orang yang serakah
Nilai sosial yaitu kelak si bayi akan mempunyai jiwa saling tolong menolong
Dari penjelasan mengenai tradisi Selapanan dan nilai karakteristik Selapanan masyarakat di Desa Kedungwinong tidak mau meninggalkan tradisi yang sudah turun temurun tersebut. Cara masyarakat setempat melestarikan tradisi Selapanan ini dengan cara masih menyelenggarakan upacara selapanan di Desa Kedungwinong. Selain itu, pelestarian upacara selapanan ini juga dilakukan dengan cara para sesepuh-sesepuh desa yang selalu mengajarkan dan menghimbau para pasangan suami istri muda untuk tetap melakukan upacara selapanan ini. Hal ini dikarenakan pelaksanaan upacara selapanan ini tidak ada jeleknya, selain demi kepentingan si bayi, juga dalam penyelenggaraannnya makanan yang dimasak akan dibagi-bagikan kepada warga sekitar. Hal ini dimaksudkan dapat digunakan sebagai sedekah kepada sesama.
Daftar Pustaka
Suyahman, Internalisasi Kearifan Lokal Dalam Era Global Menyongsong Generasi Emas Tahun 2045, Semarang 7-8 November 2017
Universitas Veteran Bantara Sukoharjo
Suyahman, Analisis Nilai Pancasila Dalam Membentuk Nilai Karakter Pada Siswa Sd Negeri Pucangan 3 Kecamatan Kartasura Tahun Pelajaran 2017-2018
Universitas Veteran Bantara Sukoharjo
Suyahman, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Di Bidang Pendidikan
Universitas Veteran Bangun Nusantara
Suyahman, penguatan karakter kewirausahaan melalui pendidikan keluarga
Universitas Veteran Bangun Nusantara
Suyahman, Peningkatan Mutu Pembelajaran Ppkn Melalui Penerapan Model Pembelajaran Interaksi Social Terpadu Dengan Modifikasi Tingkah Laku Di SMP Negeri 1 Kartasura Tahun Pembelajaran 2017-2018, 11 November 2017, Universitas Ahman Dahlan, Yogyakarta
Universitas Veteran Bangun Nusantara
Ahmad Baedowi (2 Maret 2015). Calak Edu 4: Esai-esai Pendidikan 2012-2014.
Pustaka Alvabet. hlm. 61. ISBN 978-602-9193-65-7. Diakses tanggal 2 April 2016.
A.S.Padmanugraha, ‘Common Sense Outlook on Local Wisdom and Identity:A Contemporary Javanese Natives’ Experience’ Paper Presented in International Conference on “Local Wisdom for Character Building”,
(Yogyakarta: 2010), h. 12
Gunasasmita, R. 2009. Kitab Primbon Jawa Serbaguna.
Yogyakarta: Narasi
Ridwan NA. 2007 Januari-Juni. Keilmuan kearifan lokal. Dalam: Jurnal Studi Islam dan Budaya. [Internet]. [dikutip 11 November 2011]; 5(1): 27-38. http://www.searchdocument.com/pdf/1/keilmuan-kearifan-lokal.html
Sartini. 2004. Menggali kearifan lokal nusantara sebuah kajian filsafati. Dalam: Jurnal Filsafat. [Internet]. [dikutip 11 November 2011]; 37(2): 111-120. Dapat diunduh dari: http://www.search-document.com/pdf/1/1/Menggali-Kearifan-Lokal-Nusantara-SebuahKajian-Filsafati.html
Suhartini. 2009. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan penerapan MIPA [16 Mei 2009].
Yogyakarta. [Internet]. [diunduh 09 November 2011]. Dapat diunduh dari: http://www.search-document.com/pdf/1/Kajian-Kearifan-Lokal-Masyarakat-dalam Pengelolaan-Sumberdaya-Alam-dan-Lingkungan.html
Koentjaraningrat. 1997. Metode- metode Dalam Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Maryaeni. 2012. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nawawi,Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sayuti, Husin. 1989. Pengantar Metodologi Riset. Jakarta: Fajar Agung. Utomo, Sutrisno
Sastro. 2005. Upacara Daur Hidup Adat Jawa. Semarang: Effhar.
Yana M.H. 2012. Falsafah Dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Bintang Cemerlang Anonim, 9 Upacara Adat Jawa Unik + Keterangannya. Diambil 20 November 2015 dari http://kisahasalusul.blogspot.com
Budiharso, Teguh. 2014. Simbol Literal dan Kontekstual dalam Mantra Jawa “Aji Seduluran”, Konstruktivisme, Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 6(2), 154-169.
Bratawidjaja. Thomas Wiyasa, 2000. Upacara Perkawinan Adat Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Departemen Pendidikan Nasional. 1985. Ungkapan Tradisional sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Depdiknas. Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan Simbol: The Power of Symbols. Terjemahan Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius.
Elliot, Anthony. 2007. “Symbols”. In Turn, Bryan S. (Ed.). The Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge: Cambridge University Press. Endraswara, Suwardi. 2015. Agama Jawa, Ajaran, Amalan, dan Asal-usul Kejawen. Yogyakarta: Narasi.
M. Darori Amin. 2002. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakrata: Gama Media. Halaman 4.
Sutrisno Sastro Utomo. 2005. Upacara Daur Hidup Adat Jawa. Semarang: Effhar. Halaman 86-87.
Purwadi. 2006. Petugan Jawa Menentukan Hari Baik Dalam Kalender Jawa. Yogyakarta: Pinus. Halaman 22.
Purwadi. Op Cit. Halaman 25. Suwardi Endraswara.2003. Falsafah Hidup Jawa. Tangerang: Cakrawala. Halaman 119. Ibid. Halaman 121.
Utomo. Op Cit. Halaman 104. R. Gunasasmita. 2009. Kitab Primbon Jawa Serbaguna . Yogyakarta : Narasi. Halaman 19. Ibid. Halaman 3.
M. Syahbudin Latif. 2000. Persaingan Calon Kepala Desa Di Jawa. Yogyakarta: Media Presindo. Halaman 109.
Lani Wijaya. Ramalan Gaul. 2008. Jakarta: Better Book. Halaman 85.
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 71.
Yana MH. 2012. Falsafah Dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Bintang Cemerlang. Halaman 49.
Saifur Rohman. 2013. Hermeneutik: Panduan Ke Arah Desain Penelitian dan Analisis. Yogyakarta : Graha Ilmu. Halaman 65.
Arikunto, Suharsimi. 2007. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: UI Press..
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Antropologi I. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Miles, B. Mathew dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UIP.
Moleong, Lexy, J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
Mulder, Niels. 1983. Jawa-Thailand Beberapa Perbandingan Sosial Budaya.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tradisi
https://www.nyonyamelly.com/blogs/news/bancakan-pada-acara-selapanan-dalam-tradisi-jawa
https://www.sinaujawa.com/2015/07/adat-selapanan-bayi.html?m=1
http://banyakhalbaru.blogspot.com/2012/11/selapanan-dalam-bahasa-jawa.html?m=1
https://www.inibaru.id/budaya/puputan-dan-selapanan-upacara-khas-masyarakat-jawa-setelah-mendapatkan-bayi
https://www.yourou.id/blog/2017/01/21/selapanan-tradisi-masyarakat-jawa-untuk-bayi-setelah-35-hari-kelahiran/
https://sabdalangit.wordpress.com/tag/syarat-syarat-dan-ubo-rampe-selapanan-bayi/
https://www.tongkronganislami.net/hukum-selapanan-bayi-dalam-islam/
http://sarkaraadi.blogspot.com/2014/12/tradisi-selapanan-bayi.html?m=1
Selain itu wawancara dengan :
Bapak Broto Suyatno selaku tokoh adat sekaligus tokoh agama
Ibu Suyatni selaku tokoh masyarakat
Lampiran
Wawancara dengan tokoh adat
Disusun Oleh :
Nama : Meyleny Eka Damayanti
Kelas : 6a Keuangan 1
NIM : 1652100063
Fakultas Ekonomi
Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
Tahun Pelajaran 2018/2019
Pendahuluan
Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal (local wisdom) biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut. Kearifan lokal ada di dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu, dan permainan rakyat. Kearifan lokal sebagai suatu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal melalui kumpulan pengalaman dan pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam di daerah setempat.
Masyarakat Indonesia mempunyai kebudayaan yang beragam dan sangat banyak. Khususnya di Pulau Jawa. Masyarakat Jawa adalah salah satu masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Tradisi-tradisi yang dilaksanakan selalu berkaitan dengan daur hidup manusia. Upacara-upacara daur hidup berkisar pada tiga tahapan penting dalam kehidupan manusia, yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian (Sedyawati, 2012:429). Setiap tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa tentu memiliki tujuan yang hendak dicapai. Mulai dari upacara kelahiran, perkawinan hingga kematian.
Orang Jawa selalu memperhatikan dan memperhitungkan hari peringatan tersebut. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih mempercayai bahwa terdapat arti tertentu dalam hari tersebut, karena hari sangat menentukan kelancaran sebuah peristiwa yang akan dijalani. Kepercayaan mengenai arti-arti hari juga dimiliki oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa memiliki kalender sendiri yang berbeda dengan kalender Masehi. Hitungan hari dalam penanggalan Jawa yaitu lima hari atau biasa disebut sebagai hari pasaran yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon (Utomo, 2005:19).
Perhitungan hari dilakukan dengan memadukan hari pasaran dengan hari biasa (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, Minggu). Dari perhitungan hari biasa dan hari pasaran, akan ditemukan hari nepton (selapanan) yang berjumlah 35 hari. Pengetahuan mengenai perhitungan hari atau petungan dina ini penting, karena sebagian besar penduduk Jawa beranggapan bahwa segala sesuatu nasib manusia bergantung pada petungan ini (Purwadi, 2005:73).
Dalam kepercayaan Jawa, peringatan selapanan tidak hanya dilakukan sekali, namun sebagian masyarakat Jawa ada yang masih memperingati hari nepton-nya sampai dewasa. Selain karena dianggap sacral, peringatan nepton atau selapanan diadakan jika terjadi krisis kehidupan yaitu jika keseimbangan dan keselarasan kehidupan menjadi terganggu.
Peringatan nepton atau selapanan untuk yang pertama kalinya merupakan peringatan yang istimewa, karena bagi masyarakat Jawa peringatan ini disamakan dengan peringatan hari ulang tahun si buah hati untuk yang pertama kalinya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan pendahuluan diatas terdapat beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu :
Nilai-nilai karakter apa yang ada pada tradisi Selapanan?
Bagaimanakah tradisi Selapanan dapat digunakan sebagai sarana untuk melestarikan kearifan local di Desa Kedungwinong?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan diadakannya penelitian ini yaitu :
Untuk mendeskripsikan muatan nilai karakter pada tradisi Selapanan
Untuk mendeskripsikan tradisi Selapanan sebagai sarana untuk melestarikan kearifan local di Desa Kedungwinong
Kajian Teori
Manusia adalah pribadi yang berakal sehat yang dapat berfikir dan sadar yang akan dilakukan. Hal ini yang membedakan manusia dari mahkluk ciptaan Allah SWT yang lainnya. Dalam penelitian yang dilakukan Suyahman dapat dikatakan bahwa sebagai pribadi manusia itu bersifat rokhani dan jasmani. Dengan sifat rokhaninya, manusia dapat mengadakan hubungan secara vertical yakni mengadakan hubungan dengan Allah SWT dan mengarahkan hidupnya ke hal yang luhur dengan caranya sendiri sedangkan sebagai makhluk jasmani manusia dibatasi geraknya dengan keadaan fisiknya masing-masing.
Manusia sebagai makhluk jasmani secara kodrati mempunyai dua kedudukan sebagai mahkluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial yang berbudaya. Sebagai mahkluk sosial manusia hanya dapat hidup secara utuh dan berarti bila mengadakan interaksi, bekerja sama, dan saling menghargai serta mempercayai dengan sesamanya dalam rangka memenuhi tujuan hidupnya.
Perkembangan global telah memberi peluang dan ancaman bagi bangsa Indonesia. Dengan perkembangan global, bangsa ini telah menunjukkan kemampuannya mengambil peluang dalam promosi perdagangan produk dan promosi pariwisata di semua kawasan negara-negara di dunia. Di sisi lain dengan perkembangan global bangsa ini telah terkena virus yang multi komplek yang melanda di kalangan dunia remaja, misalnya pergaulan bebas, individualisme, egoisme, menurunnya sikap kurang pedulian terhadap orang lain.
Mutu pembelajaran dapat dikatakan sebagai gambaran mengenai baik buruknya hasil yang dicapai oleh peserta didik dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan. Sekolah dianggap bermutu bila hasil mengubah sikap, perilaku dan keterampilan peserta didik dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Mutu pendidikan sebagai system selanjutnya tergantung pada mutu komponen yang membentuk system serta proses pembelajaran yang berlangsung hingga membuahkan hasil. Mutu pembelajaran merupakan hal pokok yang harus dibenahi dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
Masyarakat Indonesia memang kaya akan budaya dan tradisi. Tradisi atau kebiasaan yaitu sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi yaitu adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan.
Bagi masyarakat Indonesia sendiri, banyak sekali upacara tradisi yang bertujuan untuk menjaga kedamaian, kerukunan, keselamtan, dan bentuk syukur atas peristiwa tertentu. Contohnya pada pelantikan Presiden Indonesia Joko Widodo dan Jusuf Kalla, 20 Oktober 2014. Sejumlah tokoh agama dan jajaran pejabat Pemkot Solo berdoa bersama saat Acara Kenduri dan Doa untuk Jokowi di Bundaran Gladak, Solo, Jawa Tengah. Sebanyak tujuh tumpeng dari Pemkot Solo yang melambangkan Jokowi sebagai presiden RI ke-7, dibagikan sebagai wujud syukur atas pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla oleh MPR di Parlementer, Jakarta. Malam harinya dilanjutkan dengan doa bersama. KGPH Puger membuka acara tersebut dengan bahasa Jawa Krama halus. Dalam sambutannya Puger mengatakan bahwa acara malam itu untuk meminta Sang Maha Kuasa agar para leluhur Kraton Surakarta senantiasa memberkati Jokowi dalam menjalankan amanah menjadi pemimpin bangsa.
Masyarakat Indonesia khususnya Masyarakat Jawa masih mempunyai banyak tradisi Jawa lainnya. Selain upacara selametan yang digunakan untuk memberkati seseorang agar bisa menjalankan amanat yang sudah diberikan kepada seseorang ada juga upacara selapanan. Upacara selapanan merupakan bentuk rasa syukur atas berkat dan keselamatan yang diberikan oleh Allah SWT kepada sang bayi dan ibunya. Pada acara ini sang bayi akan dicukur rambutnya dan juga dipotong kukunya. Berdasarkan aturan yang terdapat dalam primbon Jawa ada beberapa hal yang perlu dipatuhi dalam pelaksanaan selapanan. Salah satunya adalah keyakinan bahwa rambut dan kuku bayi yang telah dipotong harus disimpan bersama dengan tali pusar serta kotoran kelelawar yang nantinya bisa dimanfaatkan oleh tujuan tertentu. Selain itu juga dapat membentuk suatu karakter.
Karakter adalah jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik didalam masyarakat. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Sedangkan Scerenko dalam Muchlas Samani dan Hariyanto (2012;42) menyatakan bahwa karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis dan kompleksitas mental dari seseorang suatu kelompok atau bangsa.
Acara upacara Selapanan ini terdapat beberapa syarat-syarat atau yang biasa disebut dengan uba rampe yang harus dipenuhi ketika melaksanakan upacara Selapanan yaitu harus tersedia beberapa jenis makanan yaitu :
Tumpeng Weton yang terdiri dari :
7 jenis sayuran yaitu kacang panjang, kangkung, dan 5 jenis sayuran bebas. Semua sayuran ini akan direbus dan dipotong-potong, kecuali kacang panjang dan kangkung. Jenis sayur yang dipilih memiliki makna simbol tersendiri. Sebagai contoh kacang panjang sebagai simbol harapan agar sang bayi panjang umur dan sayur bayam agar hidup sang bayi akan tentram. Telur ayam yang telah direbus dan dikupas kulitnya berjumlah 7,11 atau 17 buah. Bumbu urap atau gudangan yang dibuat tidak pedas, untuk membedakan antara acara bancaan weton untuk anak bayi dan dewasa.
7 jenis buah-buahan dimana salah satu diantaranya adalah pisang raja
Cabai dan bawang merah yang nantinya akan dipasang di puncak tumpeng weton
7 jenis bubur dimana 6 diantaranya merupakan bubur kombinasi berupa bubur gurih (putih) dan bubur manis (merah) serta satu bubur baro-baro yang merupakan bubur gurih yang ditaburi kelapa parut dan potongan gula kelapa.
Saringan santan yang terbuat dari bambu
Kembang setaman yang terdiri dari mawar merah dan putih, melati, kanthil, dan bunga kenanga
Berdasarkan tradisi, tumpeng weton beserta semua perlengkapan harus diletakkan di dalam kamar, diatas tempat tidur sang bayi. Kemudian dibacakan doa. Setelah pembacaan doa selesai barulah hidangan tadi bisa dinikmati dan dimakan oleh semua orang. Jumlah dan jenis makanan yang disajikan dalam bancakan pada upacara Selapanan merupakan angka ganjil, karena angka ganjil dipercaya sebagai angka keberuntungan. Kepercayaan angka ganjil ini juga muncul pada jumlah yang akan mengkonsumsi bancakan tersebut.
Masyarakat Jawa mempercayai bahwa bancakan ini sebaiknya dikonsumsi minimal 7 orang, 11, 17 atau lebih banyak lagi. Angka 7 (pitu) merupakan harapan agar mendapatkan pertolongan (pitulungan) dari Allah SWT, sementara angka 11 (sewelas) merupakan harapan agar mendapatkan belas kasih (kawelasan) dari Allah SWT. Semua hal tersebut merupakan salah satu nilai budaya Jawa yang masih sangat kental dan penuh dengan makna filosofis yang sebaiknya tetap dilestarikan.
Keberagaman budaya dan tradisi lokal di Indonesia merupakan ekspresi simbolik sekaligus alkulturasi agama, etnik, dan budaya local. Aspek agama memberikan warna yang cukup besar dalam pembentukan tradisi local seperti dalam pandangan Clifford Geertz yang melihat agama sebagai suatu system kebudayaan (Parsudi Suparlan, 1983).
Dari berbagai keberagaman tersebut maka disetiap daerah terdapat kearifan lokal yang berbeda-beda. Dalam pengertian kamus, kearifan local (local wisdom) terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam kamus bahasa inggris Indonesia john.m echols dan Hassan syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) yaitu gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini, 2003)
Menurut Wagiran (2012), kearifan lokal menyiratkan beberapa konsep yaitu (1) kearifan local adalah sebuah pengalaman panjang yang diendapkan sebagai petunjuk perilaku seseorang (2) kearifan local tidak lepas dari lingkungan pemiliknya dan (3) kearifan local bersifat dinamis, lentur, terbuka, dan senantiasa menyesuaikan dengan zamannya. Dalam perkembangannya kearifan lokal digunakan sebagai konsep proses perkembangan sosial manusia sesuai konteks sosio kultural. Sehingga kearifan lokal selalu ada di dalam setiap realitas masyarakat, melekat dalam sistem tatanan nilai norma tradisi lokal (Sutarto, dkk. 2013).
Kearifan lokal memiliki ciri-ciri sebagai berikut (1) dapat bertahan terhadap budaya asing (2) mempunyai keahlian mengakomodasi unsur budaya asing terhadap budaya asli (3) mempunyai keahlian mengintegrasikan unsur budaya asing ke dalam budaya asli (4) mempunyai keahlian untuk mengendalikan (5) dapat memberi arah pada perkembangan budaya. Adapun tujuan dari kearifan lokal yaitu sebagai pelindung kebudayaan lokal dari kebudayaan asing sehingga dapat lestari. Di dalam bidang pariwisata, kearifan lokal bisa bermanfaat untuk melindungi kawasan dari kerusakan. Pandangan masyarakat tentang bagaimana merawat alam bisa menjadi strategi untuk memberi kesadaran terhadap pemerintah.
Kearifan lokal juga mempunyai beberapa macam fungsi diantaranya (1) untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam (2) untuk pengembangan sumber daya manusia seperti yang berkaitan dengan upacara daur hidup dan konsep kanda pat rate (3) untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, contohnya pada upacara saraswati dan kepercayaan serta pemujaan pada pura Panji (4) sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan (5) bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal atau kerabat (6) bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian (7) bermakna tentang etika dan moral yang terwujud dalam upacara Ngaben serta penyucian roh leluhur.
Kearifan lokal juga terdapat di daerah lain diantaranya (1) Hutan Larangan Adat di Desa Rumbio Kecamatan Kampar Provinsi Riau menjelaskan bahwa kearifan lokal dibuat dengan tujuan agar masyarakat sekitar bersama-sama melestarikan hutan. Ada peraturan untuk tidak menebang pohon-pohon di hutan dan akan dikenakan denda seperti beras 100kg atayu berupa uang sebesar Rp 6.000.000,- jika melanggar (2) Awig-awig di Lombok Barat dan Bali yang merupakan aturan adat yang menjadi pedoman untuk bersikap dan bertindak khusus dalam hal berinteraksi dan mengolah sumber daya alam dan lingkungan di daerah Lombok Barat dan Bali (3) Cingcowong yang berasal dari Sunda Jawa Barat yang merupakan upacara untuk meminta hujan. Tradisi ini sudah dilakukan turun temurun oleh masyarakat Luragung guna untuk melestarikan budaya dan menunjukkan suatu permintaan kepada yang Maha Kuasa jika tanpa adanya patuh terhadap perintahNya (4) Bebie dari Muara Enim, Sumatera Selatan merupakan tradisi memanen pada secara bersama-sama dengan tujuan agar pemanenan padi cepat selesai dan setelah panen selesai akan diadakan perayaan sebagai bentuk rasa syukur atas panen yang sukses.
Dari beberapa contoh mengenai kearifan lokal di beberapa desa yang ada di Indonesia dapat disimpulkan bahwa banyak sekali kebudayaan lokal yang ada di negara Indonesia. Tidak hanya tradisi Selapanan yang ada di Pulau Jawa saja. Tetapi di daerah lain atau bahkan di pulau lainnya juga terdapat tradisi di daerah setempat. Oleh karena itu, kita sebagai bangsa Indonesia harus bangga terhadap negeri kita sendiri dan mau untuk melestarikan budaya turun temurun tersebut. Karena kebudayaan merupakan aset warisan budaya yang harus senantiasa dijaga dan dilestarikan.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode yang memberikan gambaran secermat mungkin mengenai individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu (Sayuti, 1989:41). Untuk meneliti tentang kebudayaan lebih tepat menggunakan pendekatan atau metode kualitatif. Sukmadinata (2009:53-60) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas social, sikap, kepercayaan, persepsi, dan orang secara individual maupun kelompok.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik interview terhadap tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat setempat. Teknik interview yaitu memberikan beberapa pertanyaan mengenai nilai-nilai karakter apa saja yang terkandung di dalam tradisi Selapanan dan bagaimana tradisi Selapanan menjadi sarana untuk melestarikan kearifan lokal di Desa Kedungwinong.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai karakter dan bagaimana tradisi Selapanan dapat digunakan sebagai sarana untuk melestarikan kearifan lokal di Desa Kedungwinong. Oleh karena itu digunakan metode deskriptif dalam penelitian ini. Karena metode deskriptif dapat mengetahui bagaimana masyarakat di Desa Kedungwinong memaknai tradisi Selapanan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Kearifan lokal di suatu daerah sangatlah penting karena kearifan lokal dapat mengikat dan mempererat tali silaturahmi di daerah setempat. Kearifan lokal adalah suatu bentuk pengetahuan asli dalam masyarakat yang berasal dari nilai luhur budaya masyarakat setempat untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat atau dikatakan bahwa kearifan lokal (Sibarani 2012). Sama halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh (Apriyanto 2008) yang mengatakan bahwa kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan oleh masyarakat yang menjadi pedoman hidup mereka. Dari penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal di suatu daerah sangatlah penting karena dapat menjadikan pedoman bagi masyarakat setempat untuk selalu berbuat baik dan tidak melupakan tradisi adat istiadat yang sudah turun temurun.
Dari penelitian yang sudah dilakukan di Desa Kedungwinong mengenai tradisi Selapanan dapat dikatakan bahwa tradisi Selapanan di Desa Kedungwinong masih selalu diperingati dan dilaksanakan. Karena menurut hasil wawancara yang sudah dilakukan dapat dikatakan bahwa tradisi Selapanan di Desa Kedungwinong adalah bentuk ucapan rasa syukur kepada sang pencipta Allah SWT atas kelahiran sang buah hati. Di dalam tradisi selapanan terdapat beberapa nilai karakter diantaranya (1) nilai keagamaan (2) nilai pendidikan religius (3) nilai norma (4) nilai ekonomi dan (5) nilai sosial
Demikian juga dengan hasil wawancara yang sudah dilakukan terhadap tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama bahwa terdapat beberapa informasi mengenai nilai karakter apa saja yang terkandung di dalam tradisi Selapanan dan bagaimana cara melestarikan tradisi Selapanan tersebut agar tidak punah dikemudian hari.
Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan di lapangan dan mewawancarai sebagian tokoh-tokoh penting di Desa Kedungwinong dapat dikatakan bahwa tradisi Selapanan di Desa Kedungwinong masih sangat diperlukan mengingat arti penting dari Selapanan itu sendiri yang mengatakan bahwa Selapanan adalah bentuk rasa syukur kepada Allah SWT mengenai kelahiran sang buah hati. Oleh karena itu, tradisi Selapanan di Desa Kedungwinong masih terus menerus dilestarikan dan dibudidayakan oleh masyarakat setempat.
Pembahasan
Tradisi merupakan khasanah yang terus hidup dalam masyarakat secara turun temurun yang keberadaanya akan selalu dijaga dari satu generasi ke generasi berikutnya (Yahya, 2009:2). Tradisi juga merupakan kebiasaan yang turun temurun dalam sebuah masyarakat. Ia merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat (Rendra, 1984:3). Dengan demikian maka tradisi dapat diartikan sebagai sebuah ada kebiasaan yang dijalankan masyarakat dan diwariskan kepada generasi penerusnya secara turun temurun. Tradisi juga dapat dikatakan sebagai serangkaian tindakan yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai atau norma-norma melalui pengulangan yang otomatis mengacu pada masa lalu (Yahya, 2009:2).
Tradisi selapanan merupakan salah satu rangkaian selametan nepton. Tradisi selametan dilaksanakan berkaitan dengan kelahiran seorang bayi ada beberapa hal :
Selametan tingkeban, yaitu selametan sang ibu sewaktu mengandung dan usia kandungannya genap 7 bulan
Selametan kelahiran bayi
Selametan usia bayi tujuh hari, dalam selametan ini orang tua mengumumkan nama sang bayi
Selametan selapanan nepton lahir sang bayi yang berusia 35 hari
Selametan mitoni, sewaktu usia anak mencapai 7 bulan (Yana M.H, 2012:48)
Jadi selapanan diadakan sebagai salah satu peringatan nepton atau hari lahir seorang bayi. Namun dalam peringatannya tentu tidak dilaksanakan secara sembarangan, karena peringatan selapanan dihitung berdasarkan perhitungan hari nepton atau weton. Upacara terakhir dalam rangkaian selametan kelahiran yang dilakukan hari ke-36 sesuai dengan nepton atau hari pasaran kelahiran bayi.
Selapanan artinya 35 hari atau tujuh kali lima hari, karena hitungan hari dalam penanggalan Jawa adalah lima hari yaitu Legi, pahing, pon, wage, kliwon. Sesudah berumur 35 hari, oleh kakek si bayi akan memotong rambut bayi untuk pertama kalinya dan diadakan selametan yang disebut selametan selapanan (Utomo, 2005:19).
Selapanan merupakan peringatan nepton si bayi dan menurut kepercayaan, hari nepton akan menjadi dasar dalam peringatan peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan kehidupannya kelak. Seperti yang diketahui bahwa Masyarakat Jawa memiliki perhitungan hari tersendiri dalam memperingati sebuah peristiwa dan tradisi Selapanan merupakan selametan nepton pertama sang bayi dan merupakan peringatan kelahiran bayi yang terkahir dari beberapa peringatan kelahiran bayi.
Dalam peringatan Selapanan, tentu terdapat tata cara serta kelengkapan untuk menunjang jalannya upacara. Sajen yang perlu disiapkan adalah nasi tumpeng dengan lauk pauknya misalnya urapan, daging ayam, daging sapi atau kerbau, telur rebus, dan jajanan pasar. Selain itu disediakan kembang telon atau kembang endog dan kemenyan (Utomo, 2005:19).Beberapa hari sebelum pelaksanaan tradisi, tuan rumah meminta tolong kepada tetangga yang terdiri dari kaum wanita untuk membantu mempersiapkan dan memasak bahan-bahan yang hendak dijadikan among-among dan kenduri.
Masyarakat jawa adalah masyarakat yang hidup, tumbuh berkembang dan berada dalam naungan NKRI. Masyarakat Jawa merupakan mayoritas dan dalam jumlah yang banyak sekitar 60% penduduk Indonesia. Orang jawa biasanya dibedakan menjadi Jawa Santri dan Jawa Abangan serta dibedakan menjadi dua cultural yaitu kebudayaan pesisir dan kebudayaan pendalam atau kejawen.
Masyarakat Jawa pada zaman dahulu menyelipkan doa-doa atau pngharapan akan hal baik yang tersimpan dalam setiap rangkain upacara dan perlengkapan tradisi. Masyarakat Jawa tidak hanya sekedar membuat among-among saja. Among-among berasal dari kata emong atau asuh. Bahan-bahan dalam pembuatan among-among tidak boleh sembarangan, karena terdapat ketentuan-ketentuan khusus didalamnya.
Dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat di Desa Kedungwinong, diketahui bahwa uba rampe (kelengkapan upacara) di dalam upacara selapanan terdiri dari makanan pokok, sayur-mayur, buah-buahan, jajanan pasar, kembang setaman, uang, dan lain-lain. Makanan pokok yang dimaksud berupa nasi yang dibuat tumpeng. Nasinya biasanya menggunakan nasi kuning. Kemudian sayur-mayur antara lain bayem, kacang panjang, cambah, kluwih, dan kangkung. Selain itu ada juga telur ayam, ayam yang diingkung, jajanan pasar, kembang setaman dan uang (Hasil wawancara dengan Bapak Broto Suyatno dan Ibu Suyatni pada tanggal 2 Mei 2019).
Dari hasil wawancara dengan tokoh adat diketahui uba rampe upacara selapanan antara lain :
Nasi putih yang dibuat tumpeng
Nasi putih yang berbentuk tumpeng/bentuk kerucut adalah symbol gunung yang menunjukkan bahwa tumpeng adalah interpretasi terhadap doa manusia yang menuju ke atas (Allah SWT), Tumuju marang pangeran (tertuju kepada Allah SWT); Dedonga anteng, meneng, mententheng (berdoa dengan tenang, diam, dan teguh).
Tebu
Tebu mempunyai makna Anteping kalbu (mantapnya hati). Maksudnya adalah mantapnya hati menuju kepada Allah SWT.
Ingkung (ayam yang dimasak utuh)
Ingkung mempunyai makna Ingsun tansah manekung (Aku selalu menyembah dan memohon kepada Allah SWT).
Gudangan atau kuluban
Gudangan terdiri dari beraneka macam sayuran yang direbus yang memiliki makna Gudange duwit (Gudangnya uang); Sakparan-paran ora kepaten dalan (Dimananpun tidak tersesat jalan). Sayuran yang dipakai untuk gudangan yaitu :
Bayem
Bayem (bayam) mempunyai makna ketentraman yang identik dengan kehidupan yang dicari manusia Jawa. Urip ayem tentrem (Hidup tentram dan damai)
Kacang dawa (yusma dawa)
Kacang dawa (kacang panjang) mempunyai makna permohonan umur panjang. Kacang ini disajikan dengan tidak dipotong-potong tetapi dibiarkan memanjang, karena kacang panjang adalah symbol dari umur panjang manusia serta rejeki yang tidak terpotong-potong
Cambah (tansah semrambah)
Cambah (taoge) mmepunyai makna selalu menyebar kebaikan dimanapun ia berada
Kluwih
Kluwih mempunyai makna harapan untuk dapat hidup selalu berkecukupan
Kangkung
Kangkung mempunyai makna harapan dan doa untuk selalu mendapatkan perlindungan dari Allah SWT. Selain itu kangkung mempunyai makna manusia Jawa percaya bahwa hidup tidak perlu tergesa-gesa.
Telur rebus
Telur rebus untuk bancaan atau upacara Selapanan menggunakan jumlah angka tertentu, yaitu 7,11 atau 17 butir telur.
Bumbu urap atau Sambel Gudangan
Sayur-sayuran yang disajikan dalam upacara selapanan hanya direbus dan diberi bumbu urap/sambel gudangan. Ada 2 versi dalam segi rasa di dalam penyajiannya. Salah satu versi menyebutkan bahwa sambal jangan sampai pedas karena mempunyai makna bahwa dalam mengarungi kehidupan, diharapkan tidak banyak mengalami hal-hal yang pedas (Kesedihan, Kemalangan dan petaka lainnya)
Jajanan pasar
Jajanan pasar terdiri dari makanan tradisional di pasar yaitu :
Wajik (wani tumindak becik) yang berarti berani berbuat baik
Gedhang ijo (pisang berwarna hijau), mempunyai makna Gaweo seneng anak lan bojo (berbuatlah yang membuat istri senang)
Sukun, mempunyai makna supaya rukun
Nanas (wong urip aja nggragas) yang berarti orang hidup jangan serakah
Dhondong (ojo kegedhean omong) yang berarti jangan besar omong
Jambu (ojo ngudal barang sing wis mambu) yang berarti jangan melakukan sesuatu yang buruk
Jeruk ( jaba jero kudu mathuk) yang berarti luar dalam/lahir batin harus sesuai jalan
Kembang setaman
Kembang setaman yang dimaksud adalah aneka macam kembang (tidak satu jenis saja) yang biasanya ada di taman. Kembang setaman yang biasa digunakan dalam Selapanan yaitu :
Bunga mawar : awar-awar supaya selalu tawar dari segala nafsu negative
Bunga melati : melat-melat ning ati selalu eling lan waspada
Kantil : supaya tansah kumanthil, hatinya selalu terikat oleh rasa dengan para leluhur yang menurunkannya kepada orang tua dengan harapan anak selalu berbakti kepadanya
Bubur 7 rupa
Bubur merah yang melambangkan lambang ibu
Bubur putih yang melambangkan lambing ayah
Bubur merah silang putih yang melambangkan silang-silang
Bubur putih silang merah yang melambangkan silang-silang
Bubur putih tumpang merah yang melambangkan timbale balik
Bubur merah tumpang putih yang melambangkan timbale balik
Baro-baro (bubur putih ditaruh sisiran (irisan) gula merah dan parutan kelapa secukupnya)
Uang logam
Uang logam atau koin ini diletakkan di bawah tumpeng atau tepatnya di bawah daun pisang yang menjadi sarana untuk meletakkan tumpeng dengan makna konsep uang dalam masyarakat Jawa adalah berada di bawah, jangan sampai mengagungkan uang dan uang bukanlah yang segalanya.
Ada kelengkapan tersendiri dalam penyajian upacara Selapanan :
Daun pisang secukupnya, digunakan sebagai alas tumpeng dan juga alas bahan-bahan lainnya
Kalo (saringan santan) sebagai tempat untuk menyajikan uba rampe selapanan
Cobek digunakan sebagai tempat untuk menyajikan uba rampe selapanan
Acara selapanan yang dilakukan mempunyai urutan-urutan sendiri yaitu :
Pembukaan, biasanya menggunakan bacaan al-Fatihah atau hanya dengan bacaan bismillah saja
Pembacaan kalam ilahi, dalam hal ini biasanya dibacakan sebagian ayat dari surat Luqman. Hal ini merupakan harapan yang bertujuan untuk mendoakan sang bayi agar kelak bayi cerdas layaknya Luqman al-Hakim
Mauidlah al-Hasanah, biasanya shahib al-hajah mengundang kyai, modin, atau penduduk sekitar yang dianggap mampu untuk memberikan sedikit petuah atau ceramah kepada masyarakat yang diundang. Sebelum beliau menutup mauidlahnya dengan doa, terlebih dahulu beliau memimpin secara bersama-sama untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an :
Surat al-Insyirah 7x
Surat al-Qadr 7x
Surat al-Iklhas 3x
Mu’awwidzataian 1x
Surat al-Fatihah 1x
Diba’iyah
Pembacaan solawat-solawat nabi
Makan bersama
Tradisi selapan memiliki beberapa nilai-nilai karakter. Nilai karakter tersebut yaitu :
Nilai keagamaan yaitu dibacakannya ayat-ayat suci al-Qur’an
Nilai pendidikan religius yaitu :
Pencukuran rambut bayi
Sesaji
Nilai norma yaitu terdapat di salah satu sesaji yang bertujuan supaya kelak si bayi menjadi manusia yang baik dan akhlak yang mulia
Nilai ekonomi yaitu kelak si bayi tidak menjadi orang yang serakah
Nilai sosial yaitu kelak si bayi akan mempunyai jiwa saling tolong menolong
Upacara di Desa Kedungwinong Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Kedungwinong karena tradisi upacara Selapanan ini merupakan tradisi turun temurun leluhur/warisan nenek moyang yang dipercaya oleh masyarakat setempat jika dilaksanakan akan mendapatkan berkah dan apabila ditinggalkan akan mendapat bala (musibah). Maka dari itu upacara selapanan ini selalu dilaksanakan oleh masyarakat setempat dari generasi ke generasi. Upacara Selapanan yang sering dilakukan di Desa Kedungwinong ini bertujuan untuk memohon keselamatan bagi si bayi. Agar segala halangan hidup si bayi kelak dapat dihilangkan.
Upacara selapanan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Kedungwinong ini biasanya dilakukan dengan mengundang para tetangga, sanak saudara dan kerabat dekat. Upacara selapanan ini biasanya diikuti dengan aqiqah bagi yang mampu. Aqiqah sendiri merupakan pemotongan kambing dengan aturan 2 ekor bagi anak laki-laki dan 1 ekor bagi anak perempuan.
Upacara Selapanan ini tidak boleh punah bagi masyarakat di Desa Kedungwinong ini karena tradisi ini adalah tradisi nenek moyang yang harus dilestarikan oleh masyarakat setempat. Menurut hasil wawancara di lapangan salah satu cara masyarakat Desa Kedungwinong ini melestarikan upacara selapanan adalah dengan cara masih menyelenggarakan upacara selapanan di Desa Kedungwinong. Selain itu, pelestarian upacara selapanan ini juga dilakukan dengan cara para sesepuh-sesepuh desa yang selalu mengajarkan dan menghimbau para pasangan suami istri muda untuk tetap melakukan upacara selapanan ini. Hal ini dikarenakan pelaksanaan upacara selapanan ini tidak ada jeleknya, selain demi kepentingan si bayi, juga dalam penyelenggaraannya makanan yang dimasak akan dibagi-bagikan kepada warga sekitar. Hal ini dimaksudkan dapat digunakan sebagai sedekah kepada sesama.
Meskipun hampir mayoritas masyarakat di Desa Kedungwinong ini melakukan upacara selapanan, tetapi ditemukan beberapa kendala, diantaranya adalah timbulnya beberapa golongan masyarakat yang tidak mempercayai hal-hal yang sifatnya tradisi leluhur. Misalnya si istri berasal dari keluarga yang memegang teguh adat kejawen sedangkan pihak laki-laki atau suami berasal dari keluarga modern yang tidak mengenal hal-hal berbau kejawen. Upacara selapanan ini sudah ada sejak dulu. Upacara selapanan ini merupakan tradisi turun temurun dari leluhur. Karena upacara ini ditujukan untuk keselamatan si bayi, maka masyarakat juga antusias dalam melaksanakannya. Mereka meyakini bahwa pelaksanaan upacara selapanan ini bukanlah sekedar kenduri, tetapi lebih pada permohonan keselamatan bayi mereka agar selamat dunia akhirat. Mereka percaya bahwa dengan menghilangkan atau tidak melaksanakan upacara selapanan ini, maka nantinya malah akan menimbulkan bencana bagi keluarga mereka, khususnya si bayi tersebut.
Kesimpulan
Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sangat menghargai zaman dahulu dan mensakralkan hari, terutama hari nepton atau hari kelahiran yang merupakan pengingat bahwa manusia hendaknya selalu bersyukur kepada Allah AWT. Masyarakat Jawa memandang bahwa keseimbangan dalam hubungan antara dirinya dengan Allah SWT, alam, dan lingkungan sangatlah penting. Masyarakat Jawa di Desa Kedungwinong adalah masyarakat yang masih melestarikan tradisi yang diberikan dari nenek moyang. Salah satunya adalah tradisi Selapanan. Tradisi Selapanan dimaknai sebagai upaya untuk mencari keselamatan dan wadah sosialisasi. Tradisi Selapanan mempunyai beberapa nilai karakteristik diantaranya :
Nilai keagamaan yaitu dibacakannya ayat-ayat suci al-Qur’an
Nilai pendidikan religius yaitu :
Pencukuran rambut bayi
Sesaji
Nilai norma yaitu terdapat di salah satu sesaji yang bertujuan supaya kelak si bayi menjadi manusia yang baik dan akhlak yang mulia
Nilai ekonomi yaitu kelak si bayi tidak menjadi orang yang serakah
Nilai sosial yaitu kelak si bayi akan mempunyai jiwa saling tolong menolong
Dari penjelasan mengenai tradisi Selapanan dan nilai karakteristik Selapanan masyarakat di Desa Kedungwinong tidak mau meninggalkan tradisi yang sudah turun temurun tersebut. Cara masyarakat setempat melestarikan tradisi Selapanan ini dengan cara masih menyelenggarakan upacara selapanan di Desa Kedungwinong. Selain itu, pelestarian upacara selapanan ini juga dilakukan dengan cara para sesepuh-sesepuh desa yang selalu mengajarkan dan menghimbau para pasangan suami istri muda untuk tetap melakukan upacara selapanan ini. Hal ini dikarenakan pelaksanaan upacara selapanan ini tidak ada jeleknya, selain demi kepentingan si bayi, juga dalam penyelenggaraannnya makanan yang dimasak akan dibagi-bagikan kepada warga sekitar. Hal ini dimaksudkan dapat digunakan sebagai sedekah kepada sesama.
Daftar Pustaka
Suyahman, Internalisasi Kearifan Lokal Dalam Era Global Menyongsong Generasi Emas Tahun 2045, Semarang 7-8 November 2017
Universitas Veteran Bantara Sukoharjo
Suyahman, Analisis Nilai Pancasila Dalam Membentuk Nilai Karakter Pada Siswa Sd Negeri Pucangan 3 Kecamatan Kartasura Tahun Pelajaran 2017-2018
Universitas Veteran Bantara Sukoharjo
Suyahman, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Di Bidang Pendidikan
Universitas Veteran Bangun Nusantara
Suyahman, penguatan karakter kewirausahaan melalui pendidikan keluarga
Universitas Veteran Bangun Nusantara
Suyahman, Peningkatan Mutu Pembelajaran Ppkn Melalui Penerapan Model Pembelajaran Interaksi Social Terpadu Dengan Modifikasi Tingkah Laku Di SMP Negeri 1 Kartasura Tahun Pembelajaran 2017-2018, 11 November 2017, Universitas Ahman Dahlan, Yogyakarta
Universitas Veteran Bangun Nusantara
Ahmad Baedowi (2 Maret 2015). Calak Edu 4: Esai-esai Pendidikan 2012-2014.
Pustaka Alvabet. hlm. 61. ISBN 978-602-9193-65-7. Diakses tanggal 2 April 2016.
A.S.Padmanugraha, ‘Common Sense Outlook on Local Wisdom and Identity:A Contemporary Javanese Natives’ Experience’ Paper Presented in International Conference on “Local Wisdom for Character Building”,
(Yogyakarta: 2010), h. 12
Gunasasmita, R. 2009. Kitab Primbon Jawa Serbaguna.
Yogyakarta: Narasi
Ridwan NA. 2007 Januari-Juni. Keilmuan kearifan lokal. Dalam: Jurnal Studi Islam dan Budaya. [Internet]. [dikutip 11 November 2011]; 5(1): 27-38. http://www.searchdocument.com/pdf/1/keilmuan-kearifan-lokal.html
Sartini. 2004. Menggali kearifan lokal nusantara sebuah kajian filsafati. Dalam: Jurnal Filsafat. [Internet]. [dikutip 11 November 2011]; 37(2): 111-120. Dapat diunduh dari: http://www.search-document.com/pdf/1/1/Menggali-Kearifan-Lokal-Nusantara-SebuahKajian-Filsafati.html
Suhartini. 2009. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan penerapan MIPA [16 Mei 2009].
Yogyakarta. [Internet]. [diunduh 09 November 2011]. Dapat diunduh dari: http://www.search-document.com/pdf/1/Kajian-Kearifan-Lokal-Masyarakat-dalam Pengelolaan-Sumberdaya-Alam-dan-Lingkungan.html
Koentjaraningrat. 1997. Metode- metode Dalam Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Maryaeni. 2012. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nawawi,Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sayuti, Husin. 1989. Pengantar Metodologi Riset. Jakarta: Fajar Agung. Utomo, Sutrisno
Sastro. 2005. Upacara Daur Hidup Adat Jawa. Semarang: Effhar.
Yana M.H. 2012. Falsafah Dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Bintang Cemerlang Anonim, 9 Upacara Adat Jawa Unik + Keterangannya. Diambil 20 November 2015 dari http://kisahasalusul.blogspot.com
Budiharso, Teguh. 2014. Simbol Literal dan Kontekstual dalam Mantra Jawa “Aji Seduluran”, Konstruktivisme, Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 6(2), 154-169.
Bratawidjaja. Thomas Wiyasa, 2000. Upacara Perkawinan Adat Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Departemen Pendidikan Nasional. 1985. Ungkapan Tradisional sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Depdiknas. Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan Simbol: The Power of Symbols. Terjemahan Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius.
Elliot, Anthony. 2007. “Symbols”. In Turn, Bryan S. (Ed.). The Cambridge Dictionary of Sociology. Cambridge: Cambridge University Press. Endraswara, Suwardi. 2015. Agama Jawa, Ajaran, Amalan, dan Asal-usul Kejawen. Yogyakarta: Narasi.
M. Darori Amin. 2002. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakrata: Gama Media. Halaman 4.
Sutrisno Sastro Utomo. 2005. Upacara Daur Hidup Adat Jawa. Semarang: Effhar. Halaman 86-87.
Purwadi. 2006. Petugan Jawa Menentukan Hari Baik Dalam Kalender Jawa. Yogyakarta: Pinus. Halaman 22.
Purwadi. Op Cit. Halaman 25. Suwardi Endraswara.2003. Falsafah Hidup Jawa. Tangerang: Cakrawala. Halaman 119. Ibid. Halaman 121.
Utomo. Op Cit. Halaman 104. R. Gunasasmita. 2009. Kitab Primbon Jawa Serbaguna . Yogyakarta : Narasi. Halaman 19. Ibid. Halaman 3.
M. Syahbudin Latif. 2000. Persaingan Calon Kepala Desa Di Jawa. Yogyakarta: Media Presindo. Halaman 109.
Lani Wijaya. Ramalan Gaul. 2008. Jakarta: Better Book. Halaman 85.
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 71.
Yana MH. 2012. Falsafah Dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Bintang Cemerlang. Halaman 49.
Saifur Rohman. 2013. Hermeneutik: Panduan Ke Arah Desain Penelitian dan Analisis. Yogyakarta : Graha Ilmu. Halaman 65.
Arikunto, Suharsimi. 2007. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: UI Press..
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Antropologi I. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Miles, B. Mathew dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UIP.
Moleong, Lexy, J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
Mulder, Niels. 1983. Jawa-Thailand Beberapa Perbandingan Sosial Budaya.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tradisi
https://www.nyonyamelly.com/blogs/news/bancakan-pada-acara-selapanan-dalam-tradisi-jawa
https://www.sinaujawa.com/2015/07/adat-selapanan-bayi.html?m=1
http://banyakhalbaru.blogspot.com/2012/11/selapanan-dalam-bahasa-jawa.html?m=1
https://www.inibaru.id/budaya/puputan-dan-selapanan-upacara-khas-masyarakat-jawa-setelah-mendapatkan-bayi
https://www.yourou.id/blog/2017/01/21/selapanan-tradisi-masyarakat-jawa-untuk-bayi-setelah-35-hari-kelahiran/
https://sabdalangit.wordpress.com/tag/syarat-syarat-dan-ubo-rampe-selapanan-bayi/
https://www.tongkronganislami.net/hukum-selapanan-bayi-dalam-islam/
http://sarkaraadi.blogspot.com/2014/12/tradisi-selapanan-bayi.html?m=1
Selain itu wawancara dengan :
Bapak Broto Suyatno selaku tokoh adat sekaligus tokoh agama
Ibu Suyatni selaku tokoh masyarakat
Lampiran
Wawancara dengan tokoh adat
Perlengkapan yang digunakan pada saat Upacara Selapanan
Acara pada saat Upacara Selapanan
Komentar
Posting Komentar